Friday, August 22, 2014

Lulus Sekolah, Lalu…?

Seperti biasa, akhir tahun pelajaran adalah momen paling bersejarah bagi tiap pelajar. Segala rasa bercampur menjadi satu; senang, sedih, haru, nyesel, en segudang rasa lainnya memenuhi atmosfir kita. Bagi sebagian teman remaja yang merasa kalo sekolah adalah tempat penyiksaan, begitu lulus senangnya bukan main. Sebab, sekolah bagi teman-teman kita yang model begitu nggak ada bedanya dengan kamp latihan perang vietnam; penuh beban berat. Makanya, begitu pengumuman lulus diterima dan hasilnya lumayan, doi langsung berteriak bebas merdeka. Sebab, lulus berarti merdeka dari tugas-tugas rutin sekolahan yang bikin pegel tangan dan bikin pusing kepala. Gimana nggak, tugas sekolah saban hari getol mendatangi kita; dari mulai PR, laporan kegiatan atawa laporan praktik, dan segudang tugas yang bikin tampang kita kayak primus alias pria muka stress!
Emang nggak semua temen kita begitu lulus langsung merasa senang karena alasan nggak terbebani tugas sekolahan lagi. Masih ada yang mengaku sedih, terharu, dan nyesel. Meski dengan beragam alasan pula. Tapi itulah, sebagian besar dari kita, begitu lulus langsung menyanyikan lagu “Sorak-Sorak Bergembira”. Nggak aneh pula bila kemudian ada yang mengekspresikannya lewat corat-coret baju seragam, konvoi keliling kota bak pahlawan menang perang. Ah, ternyata masih ada juga remaja yang begitu ya?
Harusnya kan kalo emang senang, ya wajar-wajar sajalah. Senangnya itu adalah karena kita berhasil melewati beragam batu sandungan dalam “mempermak” kita menjadi pelajar yang handal, bukan karena senang bebas dari tugas. Itu sih, kebangetan ya?
Kita juga prihatin ternyata banyak teman remaja yang menjadikan sekolah hanya sebagai tempat main. Buktinya, banyak temen remaja lebih suka menjadikan sekolah sebagai tempat nongkrong nyari teman sambil ngegosipin video klip-nya Emma Bunton dalam What Took Yo So Long misalnya. Atau ngobrolin sampe berbusa-busa soal seleb yang guanteng-guanteng en cute-cute. Semangatnya berapi-api (naga kali?), kalo udah ngomongin soal lagu terbaru Westlife atawa film teranyar keluaran Hollywood atawa Bollywood, atau nyeritain video gim paten punya. Tapi kalo diajak ngomongin pelajaran, wajahnya langsung berubah jadi nggak beraturan. Heh, kalo kegiatan kamu di sekolah begitu, wajar bila pas lulus senengnya bukan main. Tapi kita sedih, tuh!

Masih keok
Bila kenyataannya seperti itu, berarti kualitas pelajar kita masih menjadi tanda tanya besar kalo nggak mau dibilang meragukan. Suer, sekadar contoh, kalo kita mau ngebandingin dengan negara lain, kita kayaknya kudu malu. Coba aja, tulisan Vincent Greanery dalam Literacy Standards In Indonesia (1992) untuk mengkonklusi (menyimpulkan) mutu rendah pendidikan dasar. Dalam tulisan tersebut dilaporkan pencapaian prestasi membaca (reading achievement) siswa kelas empat SD di Indonesia yang dikomparasi (dibandingkan) dengan siswa yang setingkat dari negara-negara tetangga kita di Asia Timur. Ternyata, prestasi siswa kita berada pada urutan paling bontot. Kalau kita urutkan perbandingan pencapaian prestasi rata-ratanya; Hong Kong (75,5), Singapura (74,0), Thailand (65,1), Filipina (52,6), dan Indonesia (51,7). (Suara Pembaruan 1 Maret 1999)
Bisa dibayangkan bila lulusan SD-nya aja nggak lancar baca, gimana di SMP dan SMU-nya. Kemungkinan besar anak ini bakal bermasalah. Penulis pun punya pengalaman saat di SMP dulu, waktu itu ada teman penulis yang nggak bisa membaca. Aduh, kasihan sekali. Ini kebanyakan main apa kebanyakan belajar, ya? Yang jelas kemungkinan kedua tertolak, sebab menurut catatan Bank Dunia, durasi belajar dalam setahun bagi murid SD kelas 6 saja, Indonesia menempati urutan bawah. Sebut saja di Belgia setiap tahun menyita waktu belajar selama 1.000 jam efektif, Perancis 936 jam, Belanda 860 jam, Luksemburg 849 jam, Inggris 840 jam, sedangkan di Indonesia hanya menunjukkan angka 525 jam. Idih, berarti rata-rata seminggu berapa jam ya? Kira-kira 10 jam-lah. Dalam sehari berapa? Wah, kurang lebih 2 jam tuh. Walah, itu sih kebangetan ya? Kenapa? Soalnya di kita kebanyakan libur, sih.
Belum lagi kalo kita mau buka-buka hasil penelitian dari studi macam The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) 1999 yang memperlihatkan bahwa, di antara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika.
Dalam dunia pendidikan tinggi, data yang disajikan oleh Asia Week menunjukkan bahwa empat universitas terbaik di Indonesia—di antara 77 universitas yang disurvei di Asia-Pasifik—ternyata menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
Belum lagi data yang dilaporkan The World Economic Forum, Swedia, Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Semua ini dapat terkait dengan kenyataan bahwa kualitas guru SD/MI masih sangat rendah. Dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya sekitar 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, data 1997/98 menunjukkan bahwa dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 2.111.650 dosen, baru 1,68% yang berpendidikan S2 ke atas (0,3% berpendidikan S3).
Emang, kita nggak ada apa-apanya kalo dibandingin dengan negara lain yang udah maju. Kita masih keok. Malah kita menempati ranking ke 47 dunia dalam hal kualitas pendidikan. Itu artinya, bahwa kita belum bisa bersaing. Aduh, gimana nanti kalo era pasar bebas diberlakukan, kayaknya dijamin bakal keteteran, tuh. Tapi ya, bukan berarti kemudian kita menerima apa adanya, sobat. Apalagi sampe bilang right or wrong is my country. Wah, celaka dua belas itu. Kalo begini adanya, wajar bila kemudian muncul problem baru setelah lulus. Mau ngapain kita?

Jadi pengangguran? Amit-amit!
Yakin deh, kita semua pasti nggak ada yang mau jadi pengangguran. Emang enak? Tapi apa boleh buat, kayaknya kita kudu mengurut dada lagi. Sebab, angka pengangguran di negerinya Pak Wahid ini terus meningkat dari tahun ke tahun. Jumlah pengangguran sampai Agustus 1998 saja udah lebih dari 34 juta orang (Suara Pembaruan, 4 Mei 1999). Tahun 2000 malah naik menjadi lebih dari 36 juta orang (satunet.com, 24 Februari 2000).
Kawan, tentu itu adalah data yang berhasil dicatat, sementara bila data yang masih terselubung bisa terlacak, nggak heran bila yang nganggur di negeri ini menyentuh angka seperempat dari jumlah total penduduknya. Ih, mengerikan banget.
Itulah faktanya. Betapa negeri ini udah carut-marut nggak karu-karuan. Wajar bila ngurus pendidikan aja kemudian keleleran dan hanya sekadar menghasilkan siswa yang bermasalah alias kualitasnya rendah. Makanya kita jadi sering bingung bin pusing, kalo udah lulus terus mau ngapain. Kalo yang punya kemampuan; baik otak maupun uang, masih bisa nerusin sekolah. Tapi bagaimana dengan yang pas-pasan dalam soal kemampuan berpikir dan biaya? Bekerja tentu adalah cita-cita idealnya. Namun dalam kenyataannya nggak selalu indah bagai dalam mimpi. Seringkali kita kudu berhadapan dengan kenyataan, bahwa dunia kerja tak selamanya mudah untuk dimasuki. Getol ngelamar ke sana kemari namun hasilnya tetap nihil. Kalo udah begitu, ya nganggur, mau gimana lagi. Perih ya? Pasti dong, apalagi kalo kamu waktu sekolah hobinya bertingkah melulu, dijamin getir bin tragis. Sebab nggak bisa apa-apa. Ya mau bisa gimana, wong belajar aja malesnya minta maaf. Belagunya nggak ketulungan. Jadi udah bertumpuk-tupuk salahnya. Udah dunia pendidikannya amburadul, eh, kamunya juga ikutan nggak bener, ya, apa yang bakal diharapkan?

Pendidikan kita amburadul
Data dan fakta di atas, cukup memberikan gambaran kepada kita, bahwa dunia pendidikan kita masih amburadul. Apalagi bila dihubungkan dengan dunia kerja, rasanya sekolah cuma  mencetak orang-orang yang nggak bisa kerja. Abisnya, malah banyak yang nganggur. Begitu kira-kira gerutuan kamu. Nggak salah sih, faktanya emang begitu, kok.
Bener-bener amburadul manajemen pendidikan di negeri ini. Suer, bukan bohong. Ini kejadian nyata. Mungkin masih mending kalo hasilnya jelas, misalnya dari sisi fisik; entah itu kamajuan teknologi, atau menghasilkan anak-anak pintar. Tapi yang terjadi, kamajuan fisik nggak, kemajuan spritual apalagi. Berarti lengkap banget penderitaan kita.
Idealnya, ibarat cerita wayang, sekolah harusnya menjadi kawah ‘Candradimuka’ bagi pelajar. Yang dalam cerita wayang kawah itu mampu melahirkan Jabang Tetuko, alias Gatotkaca, ksatria sakti nan baik hati. Nah, tidak salah kan kalau remaja berharap sekolah bisa berperan seperti itu. Menjadi arena pendidikan akal dan hati nurani. Bukan institusi pendidikan sekuler yang cuma berorientasi mengejar nilai. Dimana segala kemajuan diukur dengan nilai atau prestasi fisik, bukan akal dan hati nurani. Maka jangan heran kalau mendiang Romo Mangun Wijaya pernah berkomentar ‘sadis’ dengan menyebut sekolah sebagai arena pelatihan ala sirkus yang hanya akan melahirkan neo-fasisme.
Moga-moga Romo Mangun Wijaya salah, tapi kenyataan memang menunjukkan sekolah hanya berperan sebatas sarana transfer ilmu belaka, sementara pembentukan kepribadian diserahkan sendiri kepada siswa-siswi. Nggak heran bila muncul ‘fasis-fasis’ kecil. Jadi preman atau jagoan tawuran, atau melahirkan borjuis-borjuis kelas pemula yang bergaya hedonis dan pamer harta tanpa ada peduli pada keadaan sekitar.
Anak sekolah kok gayanya kayak preman atawa kaum borju aja. Walah, itu sih kayaknya masih mending gelandangan. Idih, ngebandingin mbok ya kira-kira gitu lho? Ssst..jangan nepsong dulu. Mau tahu alasannya? Non, gelandangan kemana pun ia pergi nggak kudu “pakai” uang. Lha kalo anak sekolah? Udah daftarnya ngeluarin uang, malah bayar uang bangunan segala, terus tiap bulannya “buang” biaya yang nggak sedikit, eh, malah main-main. Coba, rugi segalanya kan? Ya, korban uang, ya, korban waktu, sekaligus ngorbanin masa depan.
Padahal, tujuan kita sekolah adalah untuk mendapatkan ilmu; baik ilmu agama maupun ilmu umum. Sebab, orang yang berilmu itu “nilainya” sangat tinggi dalam pandangan Allah, seperti dalam firman-Nya:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS al-Mujâdalah [58]: 11)
Kalo ganjaran bagi orang-orang yang berilmu sedemikian besar di sisi Allah, maka wajar bila kita iri sama orang-orang yang memiliki ilmu. Maksudnya iri agar kita pun bisa mendapatkannya. Kayaknya kita kudu mencontoh semangat mencari ilmu dari ulama sekaliber Imam asy-Syafi’i. Dalam upayanya meraih ilmu, beliau punya semboyan, “Carilah ilmu seperti seorang ibu yang kehilangan anak perawannya.” Artinya, ya, terus dicari sampai dapat, meski harus mengorbankan segalanya. Itu Imam asy-Syafi’i, tapi bukan berarti kita nggak bisa. Kita bisa mencontoh bagaimana semangat beliau dalam mencari ilmu. Untuk urusan yang satu ini, kayaknya ada baiknya juga kita ngiri, lho. Jangan cuma ngiri kalo temen kita gebetannya oke punya, atau jadi favorit di sekolahan. Ya, kita kudu ngiri kalo ilmu kita masih di bawah teman-teman lain. Artinya, kita jadi termotivasi untuk mendapatkan ilmu yang sama. Rasulullah saw. bersabda:
لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ مَالًا فَسَلَّطَهُ عَلَى هَلَكَتِهِ فِي الْحَقِّ وَرَجُلٌ آتَاهُ اللَّهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا * 
“Tidak boleh iri hati kecuali terhadap dua perkara yaitu terhadap seseorang yang dikaruniakan oleh Allah harta kekayaan dan dia memanfaatkannya untuk urusan kebenaran (kebaikan). Juga seseorang yang diberikan ilmu pengetahuan oleh Allah lalu dia memanfaatkannya (dengan kebenaran) serta mengajarkannya kepada orang lain” (HR Bukhâri dan Muslim, CD al-Bayan, hadits No. 448)
Jadi, bila sejak awal kita mengetahui keutamaan ilmu, maka ketika kita sekolah dalam rangka mencari ilmu nggak bakalan males-malesan apalagi males beneran. Temen-teman akan begitu semangat. Dijamin nggak ada yang nongkrong di mal pas jam pelajaran atawa tawuran. Insya Allah semuanya khusyuk belajar. Makanya nggak heran bila kita lulus sekolah udah bisa kegambar bagaimana rencana kita selanjutnya. Nggak kayak sekarang, rasa senang itu hanya sekejap. Setelah pesta berakhir, kembali deh kita bengong. Bengong, sebab nggak tahu harus berbuat apa. Barangkali kita duduk sambil ngelamun, sesekali kita nengok ke kiri dan ke kanan, eh, udah nggak ada teman yang biasanya nongkrong seharian di mal, atawa nggak ada lagi teman yang suka ngajakin tawuran. Baju seragam udah tinggal kenangan. Sementara ilmu pelajaran di sekolah nggak ada yang nyangkut sedikitpun. Wah, itu namanya musibah besar kawan. Wajar bila setelah lulus kita bingung harus ngapain. Yang jelas jadi pengangguran adalah semacam “kutukan”. Nyesel deh, kenapa ketika sekolah nggak serius belajar. Tuh kan? n

0 comments:

Post a Comment